Jujur, deh. Siapa di sini yang dompetnya pernah ‘berteriak’ setelah kalap nge-pull karakter atau senjata impian di game favorit? *Raises hand slowly*. Gue ngaku, gue pernah ada di posisi itu. Perasaan antara deg-degan, penasaran, dan harapan dapet karakter SSR bintang lima itu… emang candu banget. Itulah dunia gacha, sebuah mekanisme game yang kelihatannya simpel—bayar untuk kesempatan dapet item acak—tapi di baliknya, ada desain psikologis yang luar biasa kompleks dan efektif.
Ini bukan sekadar untung-untungan kayak lotre. Developer game gacha itu pinter banget meramu berbagai bias kognitif dan pemicu emosional manusia buat bikin kita terus kembali… dan seringkali, terus merogoh kocek. Yuk, kita bedah bareng-bareng, ada sihir apa sih di balik sistem gacha yang bikin kita susah berhenti?
Mesin Slot di Genggaman Tangan
Pada dasarnya, gacha adalah mesin slot yang dibungkus dengan cerita epik dan karakter anime yang keren. Mekanisme intinya sama: variable ratio reinforcement schedule. Istilahnya ribet, tapi konsepnya sederhana: Lo dapet hadiah (reward) setelah melakukan aksi (pull) dalam jumlah yang tidak menentu. Kadang, lo dapet SSR di pull pertama. Kadang, lo harus gacha 80 kali baru dapet. Ketidakpastian inilah yang bikin otak kita nagih. Otak kita melepaskan dopamin—hormon rasa senang—bukan saat kita dapet hadiahnya, tapi saat kita mengantisipasi hadiah itu. Momen sebelum animasi pull-nya selesai, itulah puncak kenikmatannya.

Ilusi “Hampir Dapat” dan Sunk Cost Fallacy
Pernah dapet karakter SR bintang empat, padahal yang lo incer SSR bintang lima? Atau dapet item bagus, tapi bukan yang rate-up? Ini namanya efek “hampir dapat” atau near-miss effect. Secara psikologis, rasa “hampir dapat” ini lebih memotivasi kita buat mencoba lagi daripada kalah telak. Otak kita berpikir, “Wah, dikit lagi, nih! Coba sekali lagi pasti dapet.”
Lalu, ada jebakan kedua: sunk cost fallacy. Ini terjadi pas lo udah keluarin banyak uang atau waktu. Misalnya, lo udah 70 kali pull dan belum dapet karakter incaran, padahal sistem pity-nya di 90 pull. Lo bakal mikir, “Nanggung banget, udah 70 kali, masa berhenti sekarang? Sayang banget sumber daya yang udah keluar.” Pikiran “sayang banget” inilah yang bikin kita terus menanamkan ‘investasi’ pada sesuatu yang seharusnya kita tinggalkan. Lo pasti suka ini juga: developer sering nambahin sistem pity (jaminan dapet item bagus setelah sekian kali pull) justru untuk memperkuat jebakan ini. Mereka seolah-olah baik, padahal itu cara biar lo terus jalan sampe garis pity.
Koleksi, Kelangkaan, dan Tekanan Sosial

Manusia itu secara alami adalah kolektor. Game gacha mengeksploitasi dorongan ini dengan sempurna. Mereka menciptakan ratusan karakter dengan desain, cerita, dan skill yang unik. Ada rasa puas yang luar biasa saat kita berhasil melengkapi satu set karakter atau punya karakter yang super langka. Kelangkaan (scarcity) ini didesain dengan sengaja. Karakter atau skin limited-time menciptakan rasa FOMO (Fear of Missing Out). “Kalo nggak dapet sekarang, nggak bakal bisa dapet lagi selamanya!” Pikiran ini adalah pendorong belanja yang sangat kuat.
Ditambah lagi, ada faktor sosial. Temen lo di Discord pamer dapet karakter baru. YouTuber favorit lo bikin video “1000 PULLS FOR [NAMA KARAKTER]”. Secara nggak sadar, ini semua menciptakan tekanan buat kita biar nggak ketinggalan. Kita pengen punya apa yang orang lain punya, apalagi kalau itu bisa bikin progres game kita lebih gampang.
Apakah Gacha Itu Jahat?
Ini pertanyaan sulit. Di satu sisi, game gacha (kebanyakan) free-to-play. Lo bisa nikmatin ceritanya tanpa bayar sepeser pun. Gacha adalah model bisnis yang bikin game-game berkualitas tinggi ini bisa tetap hidup dan dapet update rutin. Tapi di sisi lain, mekanismenya punya potensi besar untuk jadi eksploitatif, terutama bagi mereka yang rentan terhadap adiksi judi.
Sebagai pemain, kuncinya adalah kesadaran diri. Pahami cara kerjanya, kenali pemicu psikologisnya. Tentukan budget yang jelas sebelum mulai sesi gacha dan berhenti saat budget itu tercapai, menang atau kalah. Ingat, ini cuma game. Karakter SSR memang keren, tapi kesehatan mental dan finansial lo jauh lebih penting.













